Oleh:
A.Syamsinar Asmi 011050034
Yermi 011050033
Nur Naningsi 011050037
Marwah 011050018
Mardiah 011050061
Muh. Yusuf Tahir 011050056
PROGRAM PASCA SARJANA (PPS)
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIK)
YAYASAN PENDIDIKAN TAMALATEA
MAKASSAR
2012
DAFTAR ISI
Halaman Judul................................................................................................ i
Daftar Isi................................................................................................................... ii
Ringkasan Eksekutif...................................................................................... iii
BAB I Kajian Kebijakan Undang-Undang No.36
Tahun 2009................. ........ 3
BAB II Konsekuensi dan Resistensi.............................................................. 15
BAB III Prediksi............................................................................................. 16
BAB IV Kesimpulan dan Rekomendasi....................................................... 18
Daftar Pustaka................................................................................................ iv
Lampiran......................................................................................................... v
RINGKASAN EKSEKUTIF
A. ISU DAN MASALAH PUBLIK
B. TUJUAN KEBIJAKAN
C. TIPE PENDEKATAN DALAM SETIAP SIKLUS KEBIJAKAN
D. SUBTANSI POKOK KEBIJAKAN
E. MASALAH YANG TIMBUL AKIBAT KEBIJAKAN
F. RESISTENSI TERHADAP KEBIJAKAN
G. PREDIKSI KEBERHASILAN
H. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
BAB I
KAJIAN KEBIJAKAN
A. Masalah Dasar
1.
Hal-hal yang menjadi pertimbangan disusunnya
Undang-Undang No.36 Tahun 2009 yaitu:
a.
Bahwa kesehatan
merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus
diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Bahwa setiap kegiatan
dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif,
partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia
Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan
nasional; bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada
masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara,
dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti
investasi bagi pembangunan negara;
2.
Pihak yang menyusun Undang-Undang No.36 Tahun 2009
ialah Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden Republik Indonesia
3.
Asas Undang-Undang No.36 Tahun 2009 ialah Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan
berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan
terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan
norma-norma agama.
B. Tujuan yang Ingin Dicapai
Tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 ialah Pembangunan
kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang
produktif secara sosial dan ekonomis.
C. Kajian Undang-Undang Secara
Umum
Membaca Undang-Undang
RI No. 36 th
2009 tentang Kesehatan yang dimulai dari menimbang,—–terdiri
dari 5 dasar pertimbangan perlunya dibentuk undang-undang kesehatan yaitu pertama;
kesehatan adalah hak asasi dan salah satu unsur kesejahteraan, kedua; prinsip
kegiatan kesehatan yang nondiskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan. Ketiga; kesehatan
adalah investasi.Keempat; pembangunan kesehatan adalah tanggung
jawab pemerintah dan masyarakat, dan yang Kelima adalah
bahwa undang-undang kesehatan no 23 tahun 1992 sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan, tuntutan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat—– Kemudian —– mengingat ;Undang-Undang
Dasar tahun 1945 Negara Republik Indonesia—dan menetapkan undang-undang
kesehatan yang terbaru ini, yang terdiri dari 22 bab dan pasal-ke pasal
sejumlah 205 pasal, serta penjelasannya.
“Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum
jelas cita-cita bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional
bangsa Indonesia. Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial. Untuk mencapai
tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya pembangunan yang berkesinambungan
yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu,
termasuk di antaranya pembangunan kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi
manusia dan salah satu unsure kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan
cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Didapatkan “satu pokok pikiran” setelah
membacanya yaitu telah ada niat ingin melakukan perubahan paradigma upaya
pembangunan kesehatan yaitu dari paradigma sakit yang begitu kental
pada Undang-Undang Kesehatan sebelumnya (No. 23 tahun 1992) bergeser menjadi paradigma
sehat.
“Untuk itu, sudah
saatnya kita melihat persoalan kesehatan sebagai suatu faktor utama dan
investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma baru
yang biasa dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma kesehatan yang
mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan
rehabilitatif. Dalam rangka implementasi paradigma sehat tersebut, dibutuhkan
sebuah undang-undang yang berwawasan sehat, bukan undang-undang yang berwawasan
sakit. Pada sisi lain, perkembangan ketatanegaraan bergeser dari sentralisasi
menuju desentralisasi yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.”
Ada niat karena setelah membaca undang-undang
kesehatan terbaru ini jelas mampu menjawab komplesitas pembangunan kesehatan
yang tidak terdapat (tertampung lagi) dalam undang-undang kesehatan yang
lama.
“Undang-Undang tersebut memuat ketentuan yang
menyatakan bahwa bidang kesehatan sepenuhnya diserahkan kepada daerah
masing-masing yang setiap daerah diberi kewenangan untuk mengelola dan
menyelenggarakan seluruh aspek kesehatan. Sebagai tindak lanjut dari
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintah telah mengeluarkan
Peraturan PemerintahNomor 38 Tahun 2007 yang mengatur tentang pembagian urusan
antara Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Berdasarkan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
perlu disesuaikan dengan semangat otonomi daerah. Oleh karena itu, perlu
dibentuk kebijakan umum kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh semua pihak dan
sekaligus dapat menjawab tantangan era globalisasi dan dengan semakin
kompleksnya permasalahan kesehatan dalam suatu Undang-Undang Kesehatan yang
baru untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan”
Hanya saja Undang-Undang Kesehatan yang baru ini (no.
36 tahun 2009) tidak memuat konsep yang jelas tentang“kesehatan
masyarakat” mungkin karena undang-undang ini hanya menyangkut
tentang kesehatan saja.Sebagaimana inti dari paradigma sehat,
yaitu pendekatan promotif dan preventif yang tentunya sasaran
utamanya adalah masyarakat, kemudian masuk kepada induvidu-induvidu atau
perorangan,—— tapi biasanya membatasi diri pada induvidu atau perorangan—-
bukan kuratif dan rehabilitative yang sasarannya adalah dari induvidu-induvidu
kemudian meluas pada masyarakat, yang seharusnya tidak bisa diklaim sebagai
kesehatan masyarakat karena sifatnya yang homogen, menyangkut individu,masyarakat itu sendiri sifat heterogen. Bahkan masyarakat ini sendiri tidak
dicantumkan dalam ketentuan umum dalam undang-undang kesehatan terbaru ini,
sehingga undang-undang kesehatan ini-kalau boleh saya katakan--hanya di
peruntukkan untuk pemerintah pusat dan daerah termasuk petugas kesehatan
sebagai payung hukum untuk menyelenggarakan pembangunan kesehatan. Tetapi tidak diperuntukkan untuk masyarakat
sebagai pemilik kesehatan, pemilik partisipatif, pemilik investasi kesehatan,
pemilik hak asasi kesehatan dan sebagai subjek pembangunan kesehatan, SANGAT
IRONIS !!!
Masyarakat walaupun dalam undang-undang ini disebutkan
seperti pada Bab 1 Ketentuan umum pasal 1 ayat 2 menyebutkan
“Sumber
daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan kesehatan,
sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan
teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang
dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.”
Penjelasan dari ketentuan umum seperti yang ada pada
bab V tentang sumber daya bidang kesehatan, bahkan keterangan lainnya pada
pasal-pasal berikutnya tentang masyarakat tidak ditemukan sama sekali, padahal
sangat jelas di atas, ada tiga penyelenggara upaya kesehatan yaitu
pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat,Apakah mereka (Anggota
DPR RI) lupa atau tidak tahu sama sekali, bahwa masyarakat salah salah satu
unsur dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, Wallahu a’lam!?
Undang-Undang Kesehatan terbaru ini (no. 36 tahun
2009) akan semakin kurang jelas bila dikaitkan dengan mereka yang bekerja dalam
lingkup kesehatan masyarakat karena “pengertian kesehatan Masyarakat”,
pengertian tentang “kesehatan” memang ada dalam undang-undang ini ( Bab 1
ketentuan umum pasal 1 ayat 1 ) yaitu “Kesehatan adalah keadaan sehat,
baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.” Namun
pengertian tentang kesehatan masyarakat sebagai kunci dari paradigma sehat sama
sekali tidak ditemukan.
Orang yang berkecimpung dalam kegiatan epidemiologi
kesehatan ———-Ilmu yang mempelajari
kesehatan masyarakat bukan kesehatan induvidu———–sebagai ibu dari
kesehatan masyarakat, hanya bisa menulis bahwa Pendekatan promotif dan
preventif yang tentunya sasaran utamanya adalah masyarakat, kegiatannya dimulai
dari penggerakan pelayanan kesehatan masyarakat kemudian masuk atau membatasi
diri kepada kegiatan kesehatan induvidu-induvidu atau perorangan. Sementara
kuratif dan rehabilitative yang sasaran kegiatannya dimulai dari kegiatan atau
pelayanan kesehatan induvidu-induvidu kemudian meluas dan tidak membatasi diri
kepada lingkup masyarakat dan mengklaim sebagai kegiatan yang mencakup
masyarakat luas alias kesehatan masyarakat. Yang jelas kuratif dan
rehabilitatif adalah pendekatan paradigma sakit yang sudah terbukti gagal dalam
proses pembangunan kesehatan Nasional.
Pada penjelasan pasal 3, sedikit dijelaskan tentang
kesehatan masyarakat, namun kalau dicermati, pasal 3 dan penjelasannya tersebut
hanya merupakan penjabaran dari pengertian tentang “kesehatan” sebagaimana
disebutkan dalam undang-undang kesehatan terbaru ini.
Pasal 3. tersebut menyatakan “Pembangunan
kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang
produktif secara sosial dan ekonomis.”
Penjelasannya dari Undang-undang ini
adalah “Mewujudkan derajat kesehatan masyarakat adalah upaya
untuk meningkatkan keadaan kesehatan yang lebih baik dari sebelumnya. Derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya mungkin dapat dicapai pada suatu saat sesuai
dengan kondisi dan situasi serta kemampuan yang nyata dari setiap orang atau
masyarakat. Upaya kesehatan harus selalu diusahakan peningkatannya secara terus
menerus agar masyarakat yang sehat sebagai investasi dalam pembangunan dapat
hidup produktif secara sosial dan ekonomis.”
Dalam penjelasan tersebut Pengertian atau definisi
tentang kesehatan masyarakat sama sekali tidak ditemukan, padahal dalam Pasal
33 ayat 1 “Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan
kesehatan masyarakat harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan masyarakat
yang dibutuhkan.” Namun “Apakah
Kesehatan Masyarakat itu?, tidak jelas atau belum jelas dalam undang-undang
kesehatan ini.
Sehingga ketika masuk pada bab II asas dan tujuan,
sebenarnya undang-undang kesehatan ini ditujukan kepada siapa, Apakah
untuk masyarakat?, yang jelas tidak mungkin secara tersirat ditujukan
kepada masyarakat tetapi karena tidak tersurat, sehingga undang-undang hanya
ditujukkan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pembangunan kesehatan.
Bab-bab lainnya dan pasal-pasal selanjutnya misalnya
bab III tentang Hak dan Kewajiban, pada bagian pertama tentang hak hanya berisi
hak-hak perorangan tentang kesehatan, nanti pada bagian kedua tentang kewajiban
berisikan kewajiban kesehatan terhadap diri sendiri, masyarakat dan wawasan
lingkungan sehat.
“Setiap orang
berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pelaksanaannya meliputi upaya
kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan
kesehatan.”
Namun demikian
Kewajiban atau tanggung jawab masyarakat itu sendiri tidak ditemukan, —sekali
lagi tidak ditemukan——– yang ada hanyalah tanggung jawab pemerintah, seperti yang diuraikan dalam bab IV. Di Bab lain
juga hanya ada peran serta masyarakat seperti yang diuraikan pada Pasal 174 dan
pasal 175 Bab XVI tentang peran serta masyarakat, berbunyi “
Masyarakat berperan serta, baik secara perseorangan maupun terorganisasi dalam
segala bentuk dan tahapan pembangunan kesehatan dalam rangka membantu
mempercepat pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya,
secara aktif dan kreatif”
Namun sekali lagi
kesehatan masyarakat, dan atau masyarakat dalam undang-undang kesehatan terbaru
ini sepertinya masih perlu dijabarkan lagi atau diatur lebih lanjut dengan
peraturan menteri kesehatan, atau telah dijabarkan sebagaimana dicantumkan
dalam “Pasal 203 Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dinyatakan
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.”
Selamat Tinggal
Undang-Undang Kesehatan Yang Lama dan Selamat Atas Berlakunya Undang-Undang
Kesehatan Yang Baru. Sebagaimana ditunjukkan Pasal 204. Pada saat Undang-Undang
ini berlaku,—— tanggal 30 Oktober 2009—— Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495) dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
D.
Subtansi Kebijakan (Terlampir)
E.
Undang-Undang yang Bermasalah
Landasan
Pemerintah Indonesia untuk mengendalikan masalah rokok, merupakan pertimbangan
pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan dalam melindungi anak terhadap
dampak tembakau (rokok) serta zat adiktif yang terkandung di dalamnya. Undang-undang Nomor 36
tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 113 ayat 2 secara tegas menyatakan Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang
bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya
dan/atau masyarakat sekelilingnya.
Ditambahkan,
pasal 67 Undang-undang perlindungan anak menyatakan perlindungan khusus
terhadap bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau, dilaksanakan
secara terpadu dan komprehensif melalui kegiatan pencegahan, pemulihan
kesehatan fisik dan mental serta pemulihan sosial.
alam hal pencegahan, upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan menjauhkan anak
dari akses rokok, perlindungan dari sasaran pemasaran industri rokok (dengan
pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok), pemberian informasi yang benar
tentang bahaya rokok (edukasi, peringatan kesehatan bergambar) dan perlindungan
dari terpapar asap rokok.
Pemerintah telah menyusun Rancangan
Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai zat
adiktif bagi Kesehatan.
Selanjutnya, hal-hal yang diatur dalam RPP tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan, yaitu: Pencantuman peringatan bahaya kesehatan berupa gambar dan tulisan sebesar 40% pada masing-masing sisi depan dan belakang pada bungkus rokok; Larangan pencantuman informasi yang menyesatkan, termasuk kata light, ultralight, mild, extra mild, low tar, slim, full flavor dan sejenisnya; Penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), termasuk ketentuan bahwa tempat khusus untuk merokok di tempat kerja dan tempat umum, harus merupakan terbuka dan berhubungan langsung dengan udara luar; Larangan iklan, promosi dan sponsorship; serta pengendalian iklan produk tembakau dan iklan di media penyiaran, karena berbagai studi yang menunjukkan sasaran iklan adalah anak-anak dan remaja.
Selanjutnya, hal-hal yang diatur dalam RPP tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan, yaitu: Pencantuman peringatan bahaya kesehatan berupa gambar dan tulisan sebesar 40% pada masing-masing sisi depan dan belakang pada bungkus rokok; Larangan pencantuman informasi yang menyesatkan, termasuk kata light, ultralight, mild, extra mild, low tar, slim, full flavor dan sejenisnya; Penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), termasuk ketentuan bahwa tempat khusus untuk merokok di tempat kerja dan tempat umum, harus merupakan terbuka dan berhubungan langsung dengan udara luar; Larangan iklan, promosi dan sponsorship; serta pengendalian iklan produk tembakau dan iklan di media penyiaran, karena berbagai studi yang menunjukkan sasaran iklan adalah anak-anak dan remaja.
Menurut
data hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2011, persentase perokok
aktif di Indonesia mencapai 67% (laki-laki ) dan 2.7% (perempuan) dari jumlah
penduduk, terjadi kenaikan 6 tahun sebelumnya perokok laki-laki sebesar 53 %.
Data yang sama juga menyebutkan bahwa 85.4% orang dewasa terpapar asap rokok
ditempat umum, di rumah (78.4%) dan di tempat bekerja (51.3%).
Dengan
diterbitkannya Undang-undang 36 tahun 2009 tentang Kesehatan khusunya
pasal 113 sampai pasal 116 jelas menunjukkan keseriusan pemerintah dalam upaya
pengendalian dampak tembakau.
Kebijakan
Kawasan Bebas Asap Rokok, telah diidentifikasi sebagai intervensi efektif di
tingkat daerah dalam strategi pengendalian penyakit tidak menular (PTM).
Ditergetkan dapat mencakup 497 Kabupaten/Kota yang memiliki kebijakan 100%
Bebas Asap Rokok pada 2014.
Dalam
upaya pengendalian tembakau, upaya advokasi perlu dirancang, diantaranya
melalui pemberdayaan masyarakat dan legislasi Peraturan Daerah (PERDA).
Kementerian Kesehatan pada tahun 2012 telah melakukan advokasi ke beberapa
provinsi dan kabupaten/kota terkait pengembangan KTR. Hingga saat ini sekitar
76 Kabupaten/Kota yang telah diadvokasi. beberapa diantara Kabupaten/Kota
tersebut telah menyampaikan keinginannya untuk mengembangkan kebijakan terkait
pengembangan KTR. Saat ini tercatat sudah sekitar 32 Kabupaten/Kota memiliki
kebijakan KTR, serta 3 Provinsi DKI Jakarta, Bali, dan Sumatera Barat.
Sebuah ironi, dimana dalam Undang-Undang melarang adanya zat aditif yang
akan mengganggu kesehatan. Tapi Rokok/temabaku yang merupakan zat aditif tetap
diperbolehkan dengan persyaratan tertentu. Disisi lain salah satu devisa negara
dari produksi rokok/tembakau itu sendiri. Salah satu sisi mementingkan
kesehatan dan disisi lain merupakan bentuk upaya peningkatan perekonomian.
BAB II
KONSEKUENSI DAN RESISTENSI
A.
Perilaku yang Muncul
Dengan adanya Undang-Undang No.36 Tahun 2009 menunjukkan
bahwa tingginya tingkat perhatian pemerintah terhadap peningkatan derajat
kesehatan di Indonesia. Dengan adanya Undang-Undang tersebut memberikan
perubahan paradigma baru yaitu paradigm sehat yang berarti bahwa lebih promosi
dan pencegahan kesehatan tanpa melupakan kuratif dan rehabilitatif. Ini
memberikan indikasi bahwa dengan adanya paradigm seperti itu akan merubah
perilaku masyarakat dan akan mengurangi angka kesakitan dan kematian.
B.
Resistensi
Dengan melihat Undang-Undang No36 tahun 2009 pada
Pasal 113, bias disimpulkan bahwa semua zat aditif yang mengganggu kesehatan
tidak diperbolehkan,akan tetapi tembakau tetap diperbolehkan dengan persyaratan
tertentu. Hal ini merupakan bentuk keuntungan bagi produsen rokok di Indonesia,
akan menjadi bentuk diskriminasi pada produsen-produsen lain yang menggunakan
zat aditif.
C.
Masalah Baru yang Timbul
Dengan
adanya bentuk diskriminasi pada produsen yang menggunakan zat aditif,maka akan
menimbulkan bentuk protes terhadap aplikasi undang-undang tersebut.
BAB III
PREDIKSI KEBERHASILAN
A.
Bentuk Prediksi Keberhasilan
Kebijakan
Prediksi
Kebijakan merupakan upaya untuk memperkirakan berhasil tidaknya kebijakan yang
telah dibuat oleh Pemerintah RI dalam
bidang kesehatan pada saat/dimulai sekarang sampai 3-5 tahun
kedepan.Prediksi keberhasilan kebijakan ini dapat dilihat dari gambaran
pembangunan kesehatan yang telah dicapai 1-3 tahun terakhir. Gambaran
pembangunan kesehatan dapat dilihat dari beberapa kategori status kelangsungan hidup, status kesehatan
dan status pelayanan kesehatan.
Sesuai
dengan Rencana Pembangunan Jangka MenengahNasional (RPJMN) 2010-2014, sasaran
Pembangunan Kesehatandalam periode ini adalah meningkatnya umur harapan hidup
dari 70,7
tahun menjadi 72 tahun; menurunnya Angka Kematian Bayidari 34 menjadi 24 per
1.000 kelahiran hidup; menurunnya AngkaKematian Ibu melahirkan dari 228 menjadi
118 per 100.000kelahiran hidup; dan menurunnya prevalensi gizi kurang dan
giziburuk pada anak balita dari 18,4 persen menjadi 15 persen. Berkat
pelaksanaan Pembangunan Kesehatan selama beberapadasawarsa maka derajat
kesehatan masyarakat Indonesia telahmeningkat secara bermakna. Namun disparitas
derajat kesehatanmasyarakat antar kawasan, antar kelompok masyarakat, danantar
tingkat sosial ekonomi masih dijumpai. Peningkatan derajat kesehatan dari tahun ke tahun bukan hanya disebabkan
karena terbentuknya Undang-Undang No.36 Tahun 2009, tapi merupakan hasil dari
kinerja semua sector yang terkait dalam bidang kesehatan. Sebuah aturan tidak
akan bermakna jika tidak ada aplikasi yang dilakukan oleh para pelaku Undang-Undang.
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A.
Kesimpulan
1. Asas Undang-Undang
No.36 Tahun 2009 ialah Pembangunan kesehatan
diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat,
pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan
nondiskriminatif dan norma-norma agama.
2. Undang-Undang No.23 Tahun 1992 dengan paradigma sakit
kemudian diubah menjadi paradigm sehat pada Undang-Undang No. 36 Tahun 2009
3. Kesehatan merupakan hak asasi
manusia jadi setiap manusia berhak memperoleh pelayanan kesehatan tanpa
diskriminasi
B.
Rekomendasi
1. Perlunya nondiskriminatif
terhadap setiap individu yang ingin memperoleh pelayanan kesehatan.
2. Sebaiknya undang-undang
bersifat universal dan menguntungkan semua pihak yang terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Kinerja Kemenkes 2009-2011.Kemenkes.com.Akses24 November 2012
Undang-Undang RI No.36 Tahun 2009.pdf.akses 17 Oktober
2012
Upaya Pemerintah Kendalikan Dampak Merokok.jaring.news.com.akses
24 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar